Q.S. Al-Baqarah : 128
MAKALAH
OBJEK
PENDIDIKAN “DIRECT”
(Diri dan Keturunan: Tunduk Pada Allah)
Q.S. Al-Baqarah : 128
A. Hakikat Diri
Manusia atau orang
dapat diartikan berbeda-beda dari segi biologis, rohani, dan
istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia
diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin yang berarti "manusia yang tahu"), sebuah
spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak
berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep
jiwa
yang bervariasi yang, dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan
ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka
juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya,
organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta
perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk
membentuk kelompok, dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.[1]
Konsep
manusia dalam al-Qur'an dipahami dengan memperhatikan kata-kata yang saling
menunjuk pada makna manusia yaitu kata basyar, insan, dan al-nas. Allah memakai
konsep basyar dalam al-Qur'an sebanyak 37 kali, salah satunya Ali-Kahfi: 110,
yaitu : Innama ana basyarun
mitslukum (Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia
seperti kamu). Konsep
basyar selalu dihubungkan pada sifat-sifat biologis manusia, seperti asalnya
dari tanah liat atau lempung kering (al-Hijr : 33; al-Ruum : 20), manusia makan
dan minum (al-Mu'minuun: 33). Basyar adalah makhluk yang sekedar berada (being) yang
statis seperti hewan.
Kata
insan disebutkan dalam al-Qur'an sebanyak 65 kali, di antaranya (al-Alaq: 5),
yaitu: Allamal insaana maa
lam ya'lam (Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya). Konsep insan selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spritual
manusia sebagai makhluk yang berfikir, diberi ilmu, dan memikul amanah
(al-Ahzab : 72). Insan adalah makhluk yang menjadi (becoming) dan terus
bergerak maju ke arah kesempurnaan.
Kata
al-nas disebut sebanyak 240 kali, seperti al-Zumar : 27, Walaqad dlarabna linnaasi fi haadzal qura’ani min kulli
matsal (Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam
al-Qur'an ini setiap macam perumpamaan). Konsep al-nas menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk sosial atau secara kolektif.
Dengan
demikian al-Qur'an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, dan
sosial. Manusia sebagai basyar tunduk pada takdir Allah, sama dengan makhluk lain.
Manusia sebagai insan dan al-nas bertalian dengan hembusan roh Allah
yang memiliki kebebasan dalam memilih untuk tunduk atau menentang takdir Allah.
Manusia
memiliki fitrah dalam arti potensi, yaitu kelengkapan yang diberikan pada saat
dilahirkan ke dunia. Potensi yang dimiliki manusia dapat dikelompokkan pada dua
hal, yaitu potensi fisik dan potensi ruhaniah.
Potensi
fisik manusia telah dijelaskan pada bagian yang lalu, sedangkan potensi ruhaniah adalah akal, qalb,
dan nafsu. Akal dalam pengertian bahasa Indonesia berarti pikiran,
atau rasio. Dalam al-Qur’an akal diartikan dengan kebijaksanaan (wisdom),
intelegensia (intelligent), dan pengertian (understanding). Dengan demikian di
dalam al-Qur'an akal diletakkan bukan hanya pada ranah rasio, tetapi juga
rasa, bahkan lebih jauh dari itu akal diartikan dengan hikmah atau
bijaksana.
Alqalb
berasal dari kata qalaba yang berarti berubah, berpindah, atau berbalik. Musa Asyari (1992)
menyebutkan arti alqalb dengan dua pengertian, yang pertama pengertian
kasar atau fisik, yaitu segumpal daging yang berbentuk bulat panjang,
terletak di dada sebelah kiri, yang sering disebut jantung. Sedangkan
arti yang kedua adalah pengertian yang halus yang bersifat ketuhanan dan
rohaniah, yaitu hakekat manusia yang dapat menangkap segala pengertian,
berpengetahuan, dan arif.
Dengan
demikian akal digunakan manusia dalam rangka memikirkan alam, sedangkan mengingat Tuhan
adalah kegiatan yang berpusat pada 115 qalbu. Keduanya merupakan kesatuan
daya rohani untuk dapat memahami kebenaran, sehingga manusia dapat
memasuki, suatu kesadaran tertinggi yang bersatu dengan kebenaran ilahi.
Adapun
nafsu (bahasa Arab al-Hawa, dalam bahasa Indonesia sering disebut hawa nafsu) adalah suatu
kekuatan yang mendorong manusia untuk mencapai keinginannya. Dorongan dorongan ini sering disebut dorongan primitif karena sifatnya
yang bebas tanpa mengenal baik dan buruk. Oleh karena itu nafsu sering
disebut sebagai dorongan kehendak bebas. Dengan nafsu manusia dapat
bergerak dinamis dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Kecenderungan
nafsu yang bebas, jika tidak terkendali dapat menyebabkan manusia memasuki kondisi yang membahayakan dirinya. Untuk
mengendalikan nafsu, manusia menggunakan akalnya, sehingga dorongan-dorongan tersebut dapat menjadi kekuatan positif yang
menggerakkan manusia ke arah tujuan yang jelas dan baik. Agar manusia dapat bergerak
ke arah yang jelas, maka agama berperan untuk menunjukkan jalan yang harus ditempuhnya. Nafsu yang terkendali oleh akal dan berada
pada jalur yang ditunjukkan agama disebut an-nafs muthmainnah yang
diungkapkan al-Qur'an pada surat alFajr, 27-30.
Dengan
demikian manusia ideal adalah manusia yang mampu menjaga fitrah (hanif)nya dan mampu
mengelola dan memadukan potensi akal, qalbu, dan nafsunya secara harmonis.
Ibnu
Sina yang terkenal dengan filsafat jiwanya menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial dan
sekaligus makhluk ekonomi. Manusia adalah makhluk sosial, untuk
penyempurnaan jiwa manusia demi kebaikan hidupnya, karena manusia tidak bisa
hidup dengan baik tanpa ada orang lain. Dengan kata lain, manusia baru
bisa mencapai kepuasan dan memenuhi segala kepuasannya bila hidup berkumpul bersama manusia. Manusia adalah makhluk ekonomi,
karena ia selalu memikirkan masa depannya dan menyiapkan segala
sesuatu untuk masa depannya, terutama mengenai
barang atau materi untuk kebutuhan jasmaninya. Hal ini dibuktikan dengan mengambil kisah Adam
yang diturunkan dari surga ke bumi, karena ia memerlukan pangan dengan memakan buah Khuldi.
Menurut
pandangan Murtadha Mutahhari, manusia adalah makhluk serba dimensi. Dimensi pertama, secara
fisik manusia hampir sama dengan hewan, membutuhkan makan, minum,
istirahat, dan menikah, supaya ia dapat hidup, tumbuh, dan berkembang.
Dimensi kedua, manusia memiliki sejumlah emosi yang bersifat etis, yaitu ingin memperoleh keuntungan dan menghindari kerugian. Dimensi
ketiga, manusia mempunyai perhatian terhadap keindahan. Dimensi keempat,
manusia memiliki dorongan untuk menyembah Tuhan. Dimensi kelima, manusia memiliki kemampuan dan kekuatan
yang berlipat ganda, karena ia dikaruniai akal, pikiran, dan kehendak bebas, sehingga ia mampu
menahan hawa nafsu dan dapat menciptakan keseimbangan dalam hidupnya. Dimensi keenam, manusia mampu
mengenal dirinya sendiri. Jika ia sudah mengenal dirinya, maka ia akan mencari dan ingin mengetahui
siapa penciptanya, mengapa ia diciptakan, dari apa ia diciptakan, bagaimana proses penciptaannya, dan
untuk apa ia diciptakan.[2]
B. Dalil Diri Dan Keturunan Harus Tunduk Pada Hukum Allah
الرَّحِيمُ التَّوَّابُ أَنتَ إِنَّكَ عَلَيْنَا وَتُبْ مَنَاسِكَنَا وَأَرِنَا لَّكَ مُّسْلِمَةً أُمَّةً ذُرِّيَّتِنَا وَمِن لَكَ مُسْلِمَيْنِ وَاجْعَلْنَا رَبَّنَا
“Ya Tuhan kami,
jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga)
umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara
melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang
Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah :
128)
Tafsir Ayat
1. Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Jarir
mengemukakan, maksud mereka berdua adalah, “Ya Allah, jadikanlah kami orang
yang patuh kepada perintah-Mu, tunduk mentaati-Mu, serta tidak menyekutukan-Mu
dengan seorang pun di dalam ketaatan dan ibadah kami.”
Dan
mengenai firman Allah Ta’ala, (لَكَ مُسْلِمَيْنِ وَاجْعَلْنَا) Jadikanlah
kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu, “Ibnu Abi Hatim meriwayatkan
dari Abdul Karim, ia mengatakan, “(Artinya), tulus ikhlas karena-Mu”. (لَّكَ مُّسْلِمَةً أُمَّةً ذُرِّيَّتِنَا وَمِن) “Dan jadikanlah diantara anak cucu kami umat
yang tunduk patuh kepadaMu, “ ia mengatakan, “Artinya, umat yang tulus
ikhlas”
Ia juga
meriwayatkan dan’ Ali bin Husain, dari Salam bin Abi Muthi’i, mengenai
firman-Nya, (مُسْلِمَيْنِ وَاجْعَلْنَا) “Dan
jadikanlah kami berdua orang orang yang tunduk patuh,” ia mengatakan:
“Keduanya telah menjadi hamba yang tunduk patuh, tetapi dalam hal itu mereka
meminta keteguhan.”
Mengenai
firman-Nya, (لَّكَ مُّسْلِمَةً أُمَّةً ذُرِّيَّتِنَا وَمِن) “Dan
jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepadaMu,” as-Suddi mengatakan, “Yang mereka maksudkan
adalah bangsa Arab.”
Firman
Allah Ta’ala berikutnya, (مَنَاسِكَنَا وَأَرِنَا) “Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan
tempat-tempat ibadah haji kami.” Ibnu Juraij menceritakan, dari Atha’, ia
mengatakan, “(Artinya), perlihatkanlah dan ajarkanlah hal itu kepada kami.”
Masih
mengenai firman-Nya itu, (مَنَاسِكَنَا وَأَرِنَا) “Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan
tempat-tempat ibadah haji kami”
Mujahid mengatakan, (مَنَاسِكَنَا وَأَرِ) “(Artinya), tempat-tempat penyembelihan
kurban kami.”
Abu Daud
ath-Thayalisi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Sesungguhnya ketika
diperlihatkan kepada lbrahim beberapa perintah dalam ibadah haji, lalu ia
dihalangi oleh syaitan pada saat berada di tempat Sa’i, lalu syaitan itu
dikalahkan oleh Ibrahim. Kemudian Jibril berangkat bersamanya dan sampai di
Mina, Jibril berkata kepadanya: “Ini adalah tempat berkumpulnya manusia.” Dan
ketika tiba di Jumratul Aqabah, ia kembali dihalang-halangi oleh syaitan, lalu
ia melemparnya dengan tujuh batu kecil hingga akhirnya pergi. Kemudian Ibrahim
dibawa ke Jumratul Wustha, dan ia pun dihalangi oleh syaitan lalu ia
melemparnya dengan tujuh batu kecil hingga akhirnya syaitan itu pergi. Dan pada
saat dibawa ke Jumratul Qushwa, lalu dihalangi pula oleh syaitan, maka ia
melemparnya dengan tujuh batu kecil sehingga pergi. Kemudian Jibril membawa
Ibrahim mendatangi tempat berkumpul (Muzdalifah). Jibril berkata: “Ini adalah
Masy’arul Haram.” Setelah itu ia dibawa lagi oleh Jibril ke Arafah. Jibril
berkata: “Inilah Arafah,” lalu jibril bertanya: “Apakah engkau sudah mengetahui
semua itu?”.[3]
2. Tafsir Al-Maraghi
a. Wahai, Tuhan kami ! terimalah dari kami amalan ini.
Maksudnya
bahwa lbrahim dan Ismail ketika meninggikan Baitullah berdo'a : Wahai Tuhan
kami ! terimalah dari kami amalan ini.
b. Sungguh Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.
Maksudnya,
Wahai Tuhan kami ! Engkaulah yang Maha Mendengar do'a kami, Maha Mengetahui
niat kami dalam melakukan semua perbuatan kami.
Ayat ini
mengandung isyarat bahwa setiap orang yang diperintah untuk beribadah, apabila
ia telah usai melaksanakannya dengan semestinya dengan mencurahkan semaksimal
mungkin kesanggupannya untuk itu, maka wajiblah ia memohon dengan merendah diri
kepada Allah, agar perbuatannya diterima oleh Allah dan tidak tertolak sia-sia
atau hilang percuma sebagaimana ia tidak patut memastikan bahwa ibadahnya pasti
diterima oleh Allah. Sebab kalau ia berbuat seperti itu maka berarti permohonan
dengan merendah diri berarti tidak punya arti apa-apa.
c. Wahai Tuhan kami ! Jadikanlah kami berdua orang yang
tunduk patuh kepada Engkau.
Maksudnya,
wahai Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang ikhlas kepadaMu dalam keyakinan
yaitu dengan cara kami menghadapkan hati kami hanya kepada Engkau, kami tidak
meminta pertolongan kepada siapapun, selain Engkau dan dalam beramal, kami
tidak punya tujuan selain untuk mencari keridhaan Engkau, bukan karena
mengikuti hawa nafsu dan memuaskan keinginan.
d. Dan jadikanlah di antara anak cucu kami ummat yang
tunduk patuh kepada Engkau.
Maksudnya,
Wahai Tuhan kami, jadikanlah di antara anak cucu kami golongan yang ikhlas
kepada Engkau agar supaya kesinambungan kepatuhan dan ketundukan kepada Engkau
dengan kekuatan ummat dan kegotong-royongan masyarakat. Dan do’a kedua orang
ini telah Allah kabulkan dan Allah jadikan pada anak keturunannya ummat Islam
dan ia bangkitkan di tengah-tengah mereka seorang Nabi yang menjadi penutup
para Nabi.
Dari
keterangan di atas dapatlah diketahui bahwa yang dimaksud dengan kata ”Islam” adalah patuh dan tunduk kepada Tuhan,
Pencipta Langit dan bumi, bukan dengan arti ummat Islam secara khusus saja,
sehingga setiap anak yang lahir di negeri ini dan diberi predikat ini dapat
disebut Islam yang dinyatakan oleh Al-Qur'an, serta ia termasuk ke dalam
golongan yang tercakup dalam do'a Nabi lbrahim as.
e.
Dan tunjukkanlah kepada kami
cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami.
Maksudnya
beritahukanlah kepada kami tempat-tempat amalan haji kami seperti miqat-miqat
untuk memulai ihram, tempat wukuf di Arafah. tempat tawaf dan lain sebagainya
yang berupa amalan dan ucapan.
f.
Dan perkenankanlah taubat
kami.
Maksudnya
berilah kami taufiq untuk bertaubat agar kami bertaubat dan kembali kepada
Engkau dari setiap perbuatan yang memalingkan kami dari Engkau. Hal mi mada
dengan firman Allah dalam Q.S. 9 ayat 118.
Do’a dari
Ibrahim dan Ismail ini adalah sebagai bimbingan kepada anak keturunannya dan
pengajaran kepada mereka bahwa Baitullah dengan segala tempat dan cara
ibadahnya merupakan tempat-tempat untuk membersihkan diri dari segala dosa dan
tempat untuk memohon rahmat dari Allah.
g. Sungguh Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.
Sungguh
Engkau sajalah Tuhan yang banyak memperkenankan taubat kepada hamba-hambaMu
dengan jalan memberi petunjuk kepada mereka untuk berbuat baik lalu menerima
amal baik mereka itu. Engkaulah yang Maha Penyayang kepada orang-orang yang
taubat kepadaMu yang menyelamatkan mereka dari siksa dan kemurkaanMu.[4]
C. Refleksi Diri Merupakan Manifestasi Tuhan
Multatuli
pernah berkata, “tugas manusia adalah menjadi manusia”. Manusia, sebagaimana
makhluk lainnya, adalah cermin Tuhan di dunia. Dalam hadis qudsi disebutkan
bahawa Dia adalah khazanah tersembunyi, oleh karena ingin dikenal kemudian Dia
menciptakan makhluk. Maksudnya bukan pertanda keperluan Tuhan akan makhluk-Nya.
Sebaliknya, penciptaan adalah karunia terbesar yang dengannya makhluk “menjadi
eksis”. Kejadian manusia adalah simbol praktik kasih sayang Tuhan. Kerana kasih
sayang-Nya, manusia yang awalnya tidak ada menjadi bernilai. Semuanya
bergantung penuh kepada Tuhan, mustahil lepas dari-Nya. Bentuk paling utama
pengungkapan rasa syukur manusia adalah menyesuaikan seluruh perilakunya dengan
apa-apa yang telah digariskan-Nya. Dalam kefitrian, manusia terbimbing untuk
melaksanakan kasih sayang itu adalah dengan menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan
kepada sesama manusia dan seluruh alam.
Oleh karena
itu, tidak ada yang luar biasa ketika seseorang harus mencintai sesama, membela
kaum tertindas, memelihara fakir miskin dan menentang segala bentuk kezaliman.
Sebab manusia itu cermin Tuhan. Sayang, setelah eksis, manusia merasa bebas,
untuk kemudian berlaku seperti kacang lupa pada kulitnya. Pada saat yang sama,
manusia tidak ragu untuk berbuat maksiat dan kezaliman. Mereka menganggap itu
bukan wilayah Tuhan atau seseorang punya pembenaran lain atas nama Tuhan.
“Manusia itu adalah tempatnya lalai dan dosa”, demikian sebuah ungkapan peribahasa.
Untuk
menyadari bahwa manusia adalah cermin Tuhan maka langkah pertama yang dilakukan
adalah senantiasa sadar dan bangkit dari kesadaran. Akan tetapi, hingga saat
ini, masih ada beberapa manusia masih tidur nyenyak, mata terbuka, tetapi hati
terlena dalam tidur yang berkepanjangan.
Cinta dunia dan cinta diri adalah sumber asasi setiap dosa, pokok setiap
kejahatan, pintu setiap malapetaka, lubang setiap fitnah dan penyeru setiap
kedurjanaan yang dirasakan oleh manusia dengan perasaan nyaman dan enak. Jika
penderita penyakit diberitahukan bahwa sebenarnya ia sakit, niscaya ia akan
membantahnya. Apabila seseorang tidak pernah mendidik dirinya dan tidak luput
dalam dirinya kecenderungan duniawi, maka dia akan merasa takut meninggalkan
dunia. Hatinya penuh dengan dendam terhadap Allah dan penolong-penolong
agama-Nya. Dan apakah manusia semacam ini merupakan sebaik-baik makhluk,
ataukah seburuk-buruk makhluk? Allah berfirman: “Demi masa. Sesungguhnya
manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati dalam hal kesabaran”.
(Al-‘Ashr:1-3).
Sebuah
hadis, seorang pelacur melihat seekor anjing yang kehausan. Ia masuk ke dalam
sumur, menjadikan sepatunya sebagai wadah untuk kemudian diminumkan kepada
anjing tersebut. Atas perbuatan ini, pelacur itu masuk surga. Orang yang
mendengar menilai bahwa kisah ini adalah bukti kasih sayang Tuhan, sehingga
seorang pelacur pun dapat masuk surga. Hal itu benar. Tetapi, ada hal yang
lebih substansial, ketika pelacur itu memberikan minuman kepada anjing, ia
berkata, “Ya Allah, betapa anjing ini haus sebagaimana yang pernah aku rasakan”
Ia sadar akan kedudukannya tidak jauh beda dengan anjing, sama-sama makhluk.
Kesadaran itulah yang membuatnya masuk surga.
“Barang
siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya”, demikian kata hadis.
Manusia adalah cermin Tuhan. Kasih Tuhan harus kita terjemahkan dan bumikan ke
seluruh alam. Ukuran utama terlaksana tidaknya pembumian kasih itu adalah
dengan menerapkan keadilan yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.
Manusia
adalah cermin Tuhan. Cermin adalah subjek pasif. Kedudukan setiap cermin adalah
sama dan sejajar. Sempurna tidaknya sebuah cermin tergantung sejauh mana ia
dapat memantulkan kesempurnaan subjek sesungguhnya, yaitu Tuhan.
Dalam diri
manusia yang telah disempurnakan Allah sebagai manusia sejati (insan kamil)
terdapat secuil ‘unsur yang sangat mulia,’ yaitu yang dibahasakan dalam Al
Qur’an sebagai ‘Ruh al-Quds’. Ruh al-Quds bukanlah malaikat Jibril a.s., Jibril
disebut sebagai Ruh al-Amin, bukan Ruh Al-Quds. Ruh Al-Quds juga dikenal dengan
sebutan Ruh min Amr, atau Ruh min Amr Allah (Amr = urusan, tanggung jawab).
Setiap
ciptaan memiliki ruh. Manusia (ruh insani), tanaman (ruh nabati), hewan (ruh
hewani), bahkan benda mati pun memilikinya. Atom-atom dalam benda mati
sebenarnya ‘hidup’ dan terus berputar, dan ruh bendawi inilah yang
menjadikannya ‘hidup’. Namun ruh-ruh ini bukanlah ruh dalam martabat
tertingginya seperti Ruh al-Quds. Ketika Allah berkehendak untuk memperlengkapi
diri seorang manusia dengan Ruh Al-Quds, maka inilah yang menyebabkan manusia
dikatakan lebih mulia dari makhluk manapun juga.
Dalam Al Qur’an Q.S. 2:87
disebutkan:
“…dan telah kami berikan bukti-bukti kebenaran (mu’jizat) kepada ‘Isa
putra Maryam, dan Kami memperkuatnya dengan Ruh al-Quds…” (Q.S. 2:87),
Perhatikan juga kata ‘Ruh-Ku’ dalam ayat 38:72, yang ditiupkan pada diri Adam
saat penciptaannya: “Maka apabila telah
Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku; maka hendaklah kamu
tersungkur dengan sujud kepadanya”. (Q.S. 38:72)
Secuil ‘ruh’-Nya
itu hanya diturunkan Allah pada manusia yang telah ‘disempurnakan-Nya’, yang
diizinkan-Nya untuk mencapai derajat manusia yang sempurna (insan kamil) saja
dan tidak pada semua manusia, meskipun masing-masing manusia mempunyai potensi
untuk itu. Ruh al-quds inilah yang membawa penjelasan kemisian seseorang, untuk
apa seseorang diciptakan Allah, secara spesifik orang-per-orang. Dengan
kehadiran Ruh al-Quds, seseorang menjadi mengerti misi hidupnya sendiri.
Mereka-mereka yang telah dianugerahi Ruh al-Quds inilah yang disebut sebagai
‘ma’rifat’, dan telah mengenal diri sepenuhnya sehingga mampu juga mengenal
Tuhannya.
Dengan
mengenal dirinya secara sejati, maka mulailah seseorang beragama secara sejati
pula. “Awwal al-Din ma’rifah Allah,” kata Ali bin Abi Thalib. Awalnya agama
adalah ma’rifatullah (mengenal Allah). Jadi berbeda dengan pengertian awam
bahwa mencapai makrifat adalah tujuan beragama, justru sebaliknya: makrifat
adalah awalnya beragama.
Sujudnya
Malaikat kepada Adam, karena dalam diri manusia yang telah disempurnakan-Nya
(Insan Kamil) ada yang disebut ‘Ruh-Ku’ dalam ayat 38:72 tadi. Malaikat –bukan–
sujud kepada sifat jasadiyahnya Adam. Malaikat akan sujud kepada siapapun yang
dalam dirinya ada pantulan ‘citra’ Allah, yaitu dengan kehadiran Ruh-Nya (Ruh
al-Quds) dalam jiwa seseorang. Iblis tidak mampu melihat ke dalam inti jiwa
manusia tempat ruh al-quds disematkan Allah, maka ia melihat Adam tidak lebih
dalam dari sekedar tanah yang digunakan sebagai bahan jasadnya, sehingga ia
enggan bersujud (perhatikan kata yang dipakai dalam ayat tersebut: ‘kafir’:
tertutup, tidak mampu melihat kebenaran).[5]
[1]
https://id.wikipedia.org/wiki/Manusia
[2] M. Sukhy Hasby, Modul
05 : Mengenal Diri Sendiri (Malang
: UIN Malang, Tanpa Tahun) hal. 113-116
[3] M. Abdul Ghoffar, Abdurrahim
Mu’thi, dan Abu Ihsan Al-Atsari, Tafsir
Ibnu Katsir (Bogor : Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004) hal. 270-272
[4] M. Thalib, Tarjamah Tafsir Al-Maraghi (Yogyakarta : SUMBER ILMU, 1985) hal.
239-241
[5] https://mubhar.wordpress.com/2009/02/07/manusia-cerminan-tuhan-2/
Komentar
Posting Komentar