Qs. Al-Kahfi ayat 66
SUBYEK MAJAZI PENDIDIKAN
DALAM AL QUR’AN
“NABI KHIDIR GURU NABI
MUSA”
Qs. Al-Kahfi ayat 66
A.
Nabi Musa dan Nabi Khidir
Dari Ubay bin Ka’ab, Rasulullah bersabda, “Pada suatu
ketika Musa berbicara di hadapan Bani Israil, kemudian ada seseorang yang
bertanya, ‘Siapakah orang yang paling pandai itu?’ Musa menjawab, ‘Aku.’ Dengan ucapan
itu, Allah mencelanya, sebab Musa tidak mengembalikan pengetahuan suatu ilmu
kepada Allah. Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa, ‘Sesungguhnya Aku memiliki
seorang hamba yang berada di pertemuan antara laut Persia dan Romawi, hamba-Ku
itu lebih pandai daripada kamu!’ Musa bertanya, ‘Ya Rabbi, bagaimana
caranya agar aku bisa bertemu dengannya?’ Maka dijawab, “Bawalah seekor ikan
yang kamu masukkan ke dalam suatu tempat, di mana ikan itu menghilang maka di
situlah hamba-Ku itu berada!’ Kemudian Musa pun pergi. Musa pergi bersama
seorang pelayan bernama Yusya’ bin Nun. Keduanya membawa ikan tersebut di dalam
suatu tempat hingga keduanya tiba di sebuah batu besar. Mereka membaringkan
tubuhnya sejenak lalu tertidur. Tiba-tiba ikan tersebut menghilang dari tempat
tersebut. Ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut. Musa dan pelayannya
merasa aneh sekali.
Lalu keduanya terus menyusuri dari siang hingga malam
hari. Pada pagi harinya, Musa berkata kepada pelayannya, ‘Bawalah
ke mari makanan kita. Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan
kita ini.’ (QS. Al-Kahfi: 62)
Musa berkata,
‘Itulah tempat yang kita cari,’ lalu keduanya
kembali mengikuti jejak mereka semula.’ (QS.
Al-Kahfi: 64). Setibanya mereka di batu tersebut, mereka mendapati seorang lelaki
yang tertutup kain, lalu Musa memberi salam kepadanya. Khidir (orang itu)
bertanya, ‘Berasal dari manakah salam yang engkau ucapkan tadi?’ Musa menjawab,
‘Aku adalah Musa.’ Khidir bertanya, ‘Musa yang dari Bani Israil?’ Musa
menjawab, ‘Benar!’ ‘‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu
yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab,
‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.’‘ (QS.
Al-Kahfi: 66–67)
Khidir berkata, ‘Wahai Musa, aku ini mengetahui suatu
ilmu dari Allah yang hanya Dia ajarkan kepadaku saja. Kamu tidak mengetahuinya.
Sedangkan engkau juga mempunyai ilmu yang hanya diajarkan Allah kepadamu saja,
yang aku tidak mengetahuinya.’
Musa berkata, ‘Insya Allah, kamu akan mendapati aku
sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan
pun.’ (QS. Al-Kahfi: 69) Kemudian, keduanya berjalan di tepi laut.
Tiba-tiba lewat sebuah perahu. Mereka berbincang-bincang dengan para penumpang
kapal tersebut agar berkenan membawa serta mereka. Akhirnya, mereka mengenali
Khidhir, lalu penumpang kapal itu membawa keduanya tanpa diminta upah. Tiba-tiba,
seekor burung hinggap di tepi perahu itu, ia mematuk (meminum) seteguk atau dua
kali teguk air laut. Kemudian, Khidhir memberitahu Musa, ‘Wahai Musa, ilmuku
dan ilmumu tidak sebanding dengan ilmu Allah, kecuali seperti paruh burung yang
meminum air laut tadi!’ Khidhir lalu menuju salah satu papan perahu, kemudian Khidhir
melubanginya. Melihat kejanggalan ini Musa bertanya, ‘Penumpang kapal ini telah
bersedia membawa serta kita tanpa memungut upah, tetapi mengapa engkau sengaja
melubangi kapal mereka? Apakah engkau lakukan itu dengan maksud menenggelamkan
penumpangnya?’
Khidhir menjawab, ‘Bukankah aku
telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku.’ Musa
berkata, ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku.’’ (QS. Al-Kahfi:
72–73) Itulah sesuatu yang pertama kali dilupakan Musa, kemudian keduanya
melanjutkan perjalanan. Keduanya bertemu dengan seorang
anak laki-laki sedang bermain bersama kawan-kawannya. Tiba-tiba Khidhir menarik
rambut anak itu dan membunuhnya.
Melihat kejadian aneh ini, Musa bertanya, ‘Mengapa
kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain?
Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar.’ (QS. Al-Kahfi:
74)
Khidhir menjawab, Bukankah sudah
aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?’
(QS. Al-Kahfi: 75) Maka, keduanya berjalan. Hingga tatkala keduanya sampai
kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu,
tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian
keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh.
Khidhir berkata bahwa, melalui tangannya, dia
menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil
upah untuk itu.’ Khidhir berkata, ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.’‘ (QS. Al-Kahfi: 77–78). Semoga Allah menganugerahkan rahmat kepada Musa
‘alaihis salam. Tentu, kita sangat menginginkan sekiranya Musa dapat
bersabar sehingga kita memperoleh cerita tentang urusan keduanya.” (HR.
Al-Bukhari no. 122 dan Muslim no. 2380)[1]
B. Dalil
Qs Al-Kahfi ayat 66
قَالَ لَهُۥ
مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Artinya: Musa
berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku
(ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?”
Tafsir Al-Azhar
Apabila jiwa seseorang telah dipersucikan (tazkiyah) dari
pada pengaruh hawa-nafsu dan keinginan yang jahat, sampai bersih murni
laksana kaca, maka timbullah nur dalam dirinya dan menerima dia akan
nur dari luar; itulah yang disebut Nurun ‘ala nurin! Maka
bertambah dekatlah jaraknya dengan Allah dan jadilah dia orang yang muqarrabin.
Kalau telah sampai pada maqam yang demikian, mudahlah dia menerima
langsung ilmu dari Ilahy. Baik berupa wahyu serupa yang diterima Nabi dan
Rasul, atau berupa ilham yang tertinggi martabatnya, yang diterima
oleh orang yang shalih.
Dan orang yang telah mencapai martabat yang
demikian itu dapat segera dikenal oleh orang yang telah sama berpengalaman
dengan dia, walaupun baru sekali bertemu. Sebab sinar dari Nur sama sumber asal
tempat datangnya.
Oleh sebab itu baru saja melihat orang itu yang pertama
kali, Musa telah tahu bahwa itulah orang yang disuruh Tuhan dia
mencarinya. Tidaklah kita heran jika langsung sekali Musa menegornya dengan
penuh hormat: ,,Berkata Musa kepadanya: ,,Bolehkah aku mengikuti engkau?” Dengan
(syarat) engkau ajarkan kepadaku, dari yang telah diajarkan kepada engkau,
sampai aku mengerti?”
Suatu pertanyaan yang disusun demikian rupa sehingga
menunjukkan bahwa Musa setelah menyediakan diri menjadi murid dan mengakui
dihadapan guru bahwa banyak hal yang dia belum mengerti. Kelebihan
ilmu guru itu haraplah diterangkan kepadanya, sampai dia mengerti sebagai
seorang murid yang setia.[2]
Tafsir Al-Mishbah
Dalam pertemuan kedua tokoh itu Musa berkata
kepadanya, yakni kepada hamba Allah yang memperoleh ilmu khusus itu, “Bolehkah
aku mengikutimu secara bersungguh-sungguh supaya engkau mengajarkan
kepadaku sebagian dari apa, yakni ilmu-ilmu yang telah
diajarkan Allahkepadamu untuk menjadi petunjuk bagiku menuju
kebenaran?”
Kata ( أتّبعك) attabi’uka asalnya adalah ( أتبعك) atba’uka dari kata (تبع)tabi’a, yakni mengukuti. Penambahan huruf (ت) ta’ pada kata attabi’ukamengandung
makna kesungguhan dalam upaya mengkuti itu. Memang
demikianlah seharusnya seorang pelajar, harus bertekad untuk bersungguh-sungguh
mencurahkan perhatian, bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan dipelajarinya.
Ucapan Nabi Musa as. ini sungguh sangat halus.
Beliau tidak menuntut untuk diajar tetapi permintaannya diajukan dalam bentuk
petanyaan, “Bolehkah aku mengikutmu?” Selanjutnya beliau menamai
pengajaran yang diharapkan itu sebagai ikutan, yakni beliau
menjadikan diri beliau sebagai pengikut dan pelajar. Beliau juga menggaris
bawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya secara pribadi, yakni untuk
menjadi petunjuk baginya. Di sisi lain, beliau mengisyaratkan keluasan
ilmu hampa yang saleh itu sehingga Nabi Musa as. hanya mengharap kiranya dia
mengajarkan sebagian dari apa yang telah diajarkan kepadanya. Dalam
konteks itu, Nabi Musa as. tidak menyatakan “apa yang engkau ketahuiwahai hamba
Allah", karena beliau sepenuhnya sadar bahwa ilmu pastilah bersumber dari
satu sumber, yakni dari Allah Yang Maha Mengetahui. Memang Nabi Musa as. dalam
ucapannya itu tidak menyebut nama Allah sebagai sumber pengajaran, karena hal
tersebut telah merupakan aksioma bagi manusia beriman. Di sisi lain, di sini
kita menemukan hamba yang saleh itu juga penuh dengan tata krama.[3]
C.
Aplikasi dalam
kehidupan
Mencari
ilmu itu tidak ada batasannya semasih kita masih bisa bernafas di dunia ini,
janganlah mudah merasa puas atas ilmu yang sudah kita dapatkan sehinga tidak
mau lagi mencari ilmu, dan jangan pernah
menyombongkan diri karena merasa paling banyak menguasai ilmu-ilmu, karena tak ada seorang pun di dunia ini yang
mampu menguasai semua Ilmu.
Jangan
merasa menjadi orang yang lebih mulia dari orang lain, karena adakalanya orang
yang lebih mulia tidak mengetahui hal
yang diketahui oleh orang yang tidak lebih mulia. Sebab kemuliaan itu adalah
bagi yang dimuliakan Allah.
Dalam
berguru atau menuntut ilmu kepada seseorang handaklah mengikuti segala
perintahnya dan jangan membangkang serta bersabarlah atas apa yang dia lakukan
kepada kita.
D. Aspek Tarbawi
Dari kisah
Khidir ini kita dapat mengambil pelajaran penting. Di antaranya adalah Ilmu
merupakan karunia Allah SWT, tidak ada seorang manusia pun yang boleh mengklaim
bahwa dirinya lebih berilmu dibanding yang lainnya. Hal ini dikarenakan ada
ilmu yang merupakan anugrah dari Allah SWT yang diberikan kepada seseorang
tanpa harus mempelajarinya (Ilmu Ladunni, yaitu ilmu yang dikhususkan bagi
hamba-hamba Allah yang shalih dan terpilih)
Hikmah yang kedua adalah kita perlu bersabar
dan tidak terburu-buru untuk mendapatkan kebijaksanaan dari setiap peristiwa
yang dialami. Hikmah ketiga
adalah setiap murid harus memelihara adab dengan gurunya. Setiap murid harus
bersedia mendengar penjelasan seorang guru dari awal hingga akhir sebelum
nantinya dapat bertindak diluar perintah dari guru. Kisah Nabi Khidir ini juga
menunjukan bahwa Islam memberikan kedudukan yang sangat istimewa kepada guru.[4]
[1] Sumber: 61 Kisah Pengantar Tidur,
Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, Darul Haq, Cetakan VI, 2009.
(Dengan penataan bahasa oleh redaksi www.kisahmuslim.com)
(Dengan penataan bahasa oleh redaksi www.kisahmuslim.com)
[4] Op. Cit. Sumber: 61 Kisah Pengantar Tidur,
Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, Darul Haq, Cetakan VI, 2009.
Komentar
Posting Komentar