Q.S. An-Nahl, 16: 125
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Metode Dakwah
Dari segi
bahasa metode berasal dari dua kata yaitu meta (melalui) dan hodos (jalan, cara). Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata methodos artinya jalan, dalam bahasa Arab disebut dengan thariqat dan manhaj yang mengandung arti tata cara.[1]
Sementara itu
dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia metode artinya cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaku; cara kerja yang
bersistem untuk memuudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan
yang ditentukan.[2] Dan dakwah adalah penyiaran;
propaganda, penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat; seruan
untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran masyarakat.[3]
Dari beberapa
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan metode adalah suatu cara yang sudah diatur
dangan petimbangan yang matang untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi metode dakwah adalah cara-cara tertentu
yang dilakukan oleh seorang da’i (komunikator)
kepada mad’u untuk mencapai suatu tujuan
atas dasar hikmah dan kasih
sayang.[4]
B. Dalil Metode Dakwah
Q.S. An-Nahl,
16: 125
ادْعُ إِلَىٰ
سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ
سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Dalam tafsir Ibnu Katsir, dikatakan bahwa Allah SWT berfirman, memerintahkan Rasul-Nya Muhammad saw untuk
menyeru makhluk ke jalan Allah dengan cara hikmah (perkataan yang tegas dan
benar). Ibnu Jarir berkata, “dan demikianlah apa yang diturunkan Allah kepada
Muhammad dari kitab, sunnah dan pelajaran yang baik, yaitu tentang sesuatu yang
di dalamnya terdapat larangan dan ketetapan bagi manusia. Mengingatkan mereka
dengan itu semua (al-Kitab, sunnah dan mauizhoh) agar mereka takut akan siksa
Allah SWT.[5]
Dan dalam Tafsir Depag RI, disebutkan bahwa Allah SWT memberikan pedoman-pedoman kepada Rasul-Nya tentang cara
mengajak manusia (dakwah) ke jalan Allah. Yang dimaksud jalan Allah disini
ialah agama Allah yang syari'at Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Allah SWT dalam ayat ini meletakan dasar-dasar dakwah
untuk pegangan bagi umatnya dikemudian hari mengemban tugas dakwah.
Pertama, Allah SWT menjelaskan kepada Rasul-Nya bahwa
sesungguhnya dakwah ini ialah dakwah untuk agama Allah sebagai jalan yang
menuju ridho ilahi. Bukanlah dakwah
untuk pribadi da'i (yang berdakwah) ataupun untuk golongan dan kaumnya. Rasul
saw diperintahkan untuk membawa manusia ke jalan Allah dan untuk agama Allah
semata-mata.
Kedua,
Allah SWT menjelaskan kepada Rasul saw agar dakwah itu dengan hikmah. Hikmah
disini berarti pengetahuan tentang rahasia dari faedah segala sesuatu. Dengan
pengetahuan itu sesuatu dapat diyakini keadaannya. Berarti perkataan yang tepat
dan benar yang menjadi dalil (argumen) untuk menjelaskan mana yang hak dan mana
yang batil atau syubhat (meragukan). Arti yang lain ialah kenabian mengetahui
hukum-hukum Al-Qur'an, paham Al-Qur'an, paham agama, takut kepada Allah, benar
perkataan dan perbuatan. Artinya yang paling tepat dan dekat kepada kebenaran
ialah arti yang pertama yaitu pengetahuan tentang rahasia dan faedah sesuatu,
yang mana pengetahuan itu memberi manfaat.
Ketiga,
Allah SWT menjelaskan kepada rasul agar da'wah ini dengan pendidikan yang baik,
yang diterima dengan lembut oleh hati manusia tapi berkesan didalam hati
mereka. Tidaklah patut jika pendidikan dan pengajian itu selalu menimbulkan
pada jiwa manusia rasa gelisah, cemas dan ketakutan. Orang yang jatuh karena
dosa karena jahilnya atau tanpa kesadaran, tidaklah wajar
kesalahan-kesalahannya itu dipaparkan secara terbuka sehingga menyakiti
hatinya.
Keempat, Allah menjelaskan bahwa bila terjadi perbantahan atau
perdebatan dengan kaum musyrikin ataupun ahli kitab, maka hendaklah rasul
membantah mereka dengan bantahan yang baik. Suatu contoh perdebatan yang baik adalah perdebatan Nabi Ibrahim
dengan kaumnya (Nabi Ibrohim) yang membawa mereka berfikir untuk memperbaiki
kesalahan mereka sendiri, sehingga mereka menemukan kebenaran. Tidaklah baik
memancing lawan dalam berdebat dengan kata yang tajam. Karena hal demikian
menimbulkan suasana yang puas. Sebaliknya hendaklah diciptakan suasana nyaman
dan santai sehingga tujuan dalam perdebatan untuk mencari kebenaran itu dapat
tercapai dengan hati yang puas. Suatu perdebatan yang baik ialah perdebatan
yang dapat menghambat timbulnya sifat jiwa manusia yang negatif seperti
sombong, tinggi hati, tahan harga diri, sifat-sifat tersebut sangat peka. Lawan
berdebat supaya dihadapi demikian rupa sehingga dia merasa bahwa harga dirinya
dihormati dan da'i menunjukan bahwa tujuan yang utama ialah menemukan kebenaran
kepada agama Allah SWT.
Kelima,
Allah SWT menjelaskan kepada rasul saw bahwa ketentuan akhir dari segala usaha
dan perjuangan itu pada Allah SWT. Hanya Allah SWT sendiri yang menganugerahkan
iman kepada jiwa manusia, bukanlah orang lain ataupun da'i itu sendiri. Dialah
Tuhan Yang maha mengetahui siapa diantara hamba-Nya yang tidak dapat mempertahankan
fitrah insaniyahnya (iman kepada Allah) dari pengaruh-pengaruh yang
menyesatkan, sehingga dia jadi sesat, dan siapa pula diantara hamba yang fitrah
insaniyahnya tetap terpelihara sehingga dia terbuka menerima petunjuk (hidayah)
Allah SWT.[6]
C.
Implementasi Metode Dakwah dalam Dunia
Pendidikan
Metode dakwah meliputi tiga cakupan dalam
pendidikan yang biasa diterapkan oleh para pendidik, diantaranya:
1.
Al-Hikmah
Hikmah
adalah ungkapan dan argument yang menarik jiwa peserta didik sehingga mereka
terdorong untuk menerima dan mengamalkan pesan yang terkandung dalam ungkapan
tersebut.
Untuk menggunakan metode hikmah ini,
seorang pendidik dituntut dapat menyusun kata-kata yang lebih menarik dan
menyentuh jiwa.[7]
2.
Maw’izah al-hasanah
Maw’izah al-hasanah merupakan metode penyampaian materi yang
lebih menekankan pada dampak atau konsekuensi dari memahami dan mnengamalkan
materi yang di sampaikan itu. Pendidik perlu menyampaikan manfaat atau
keuntungan yang akan di terima siswa jika menguasai dan mengamalkan materi yang
di sampaikan manfaat atau keuntungan yang akan di terima siswa jika menguasai
dan mengamalkan materi yang disampaikan itu. Allah dalam mengajar manusia melalui al-Qur’an selalu menyampaikan
konsekuensi dari penerimaan ajaran atau penolakan terhadap ajaran-Nya.
Dalam metode pembelajaran konvensional, hikmah dan maw’izah
al-hasanah sama dengan metode ceramah. Tetapi, dalam penyampaiannya guru di
tuntut dapat merajut kalimat dan ungkapan yang menarik dan menyenangkan jiwa
serta menggambarkan kepada peserta didik dampak dari penguasaan terhadap materi
yang disampaikan kepada mereka.[8]
3.
Mujadalah
Metode mujadalah sama dengan mudhakarah (debat) atau
diskusi. Dalam tradisi pesantren metode ini sering di gunakan, dimana seorang
atau sekelompok santri, bahkan bisa juga ustadz mengemukakan pendapat sebagai
hasil pengkajiannya. Kemudian santri yang lain menantang atau menolak pendapat
itu dengan alasan atau argumentasi yang mereka miliki. Penggunaan metode
mujadalah dalam pembelajaran mestilah berhati-hati tidak boleh melanggar etika,
menghujat, dan menghina atau merendahkan lawan berdebat. Al-Qur’an
menggambarkan agar bermujadalah dengan billati hiya ahsan (dengan yang
lebih baik).[9]
Komentar
Posting Komentar