Q.S An-Nahl: 43-44
Subyek
Pendidikan Majazi
(Nabi sebagai Pendidik)
Q.S An-Nahl: 43-44
A. Hakekat Nabi
Yang menjadi masalah sekarang, masih banyak orang muslim yang
keliru memahami hakikat Nabi Muhammad. Mungkin karena cintanya kepada rasul berlebih-lebihan,
atau karena tidak merasakan terkontaminasi filsafat Yunani yang diterima oleh
sebagian filsuf Islam. Akibatnya, ada yang memahami bahwa Muhammad itu pancaran
(faidh) atau emanasi dari Tuhan. Muncullah istilah “Insan al Kamil”. Padahal istilah
itu, tidak ditemukan dalam Al-Quran dan Sunnah sahih
Menurut ahli Tafsir Ali Al-Shabuni, bahwa Muhammad sebagai manusia
biasa.. berlaku juga sifat biasa pada dirinya. Hanya perbedaannya karena Allah
memuliakan dengan wahyu bertugas, mengabarkan tentang keesaan Allah dan
memkanjikan pahala besar bagi mereka yang beramal dengan ikhlas.
Menurut Tafsir Al-Qurthubi, yang dimaksud salawat dari Tuhan kepada
nabi pada ayat diatas yaitu Tuhan selalu mencurahkan rahmat dan ridha
kepadanya. Mengenai salawat malaikat berarti melaikat selalu mendoakan dan
istigfarkan. Sedang salawat orang mukmin berarti selalu medoakan dan
ta’zhimkan.
Akan tetapi kita semua hendaknya sadar, bahwa bagaimanapun
istimewanya nabi kita, tetap tidak boleh disamakan dengan Tuhan atau bahagian
dari Tuhan. Seperti mempercayai bahwa emanasi dari Tuhan. Paham itu pernah
dianut sebagian kecil filsuf Islam. Sebab itu, untuk memurnikan akidah, kita
harus kembali kepada ayat diatas “Ana Basyarun mislukum” ( saya manusia biasa
seperti anda ) dan pada surah Al-Ikhlas “ Walam yakun lahu kufwan ahad”( Dan
tidak ada seorangpun yang setara atau mirip dengan Allah).[1]
B.
Dalil Nabi
sebagai pendidik
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
(٤٣)
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
(٤٤)
Artinya:
43. Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,
44. (Mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan Adz Dzikr (Al Qur’an) kepadamu, agar kamu (Muhammad) mene-rangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikir-kan.
Tafsir dari
surah An-Nahl ayat 43-44
1.
Tafsir Ibnu
Katsir
Adh- Dhahak
meriwayatka dari Ibnu Abbas: ketika Allah mengutus Muhammad saw, maka sebagian
bangsa arab mengingkarinya. Mereka berkata: “Bagaimana mungkin Allah yang
demikian agung mengutus seorang manusia sebagai rosul-Nya.’Maka diturunkanlah
ayat “Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepda seorang
laki-laki diantara mereka, ‘Berilah peringatan kepada manusia...’” (Yunus: 2)
sedangkan di dalam surat ini Allah berfirman, “Dan Kami tidak mengutus sebelum
kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka.
3
Mujahid juga
meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan “orang yang memiliki
ilmu pengetahuan” ialah ahli kitab. Ayat ini bertujuan untuk menerangkan bahwa
para rasul tetrdahulu yang diutus sebelum Muhammad pun adalah manusia seperti
halnya Muhammad, sebagaimana firman Allah, “Katakanlah, ‘Bahwasanya aku
hanyalah seperti kamu, diwahyukan kepadaku...’” (Fushshilat: 6)
Kemudian
Allah ta’ala mengarahkan orang-orang yang meragukan keberadaan rasul berupa
manusia agar mereka bertanya kepada pemegang kitab-kitab terdahulu ihwal para
nabinyam apakah mereka ini manusia atau malaikat.
Selanjutnya
Allah mengemukakan bahwa Dia mengutus para rasul itu “dengan membawa
keterangan-keterangan dan kitab-kitab, “yakni berbagai hujjah, dalil, dan
az-zubur. Menurut Ibn Abbas dan mufasir lainnya, az-zubur berarti kitab-kitab.
Zubur merupakan jamak dari zubuur .
Allah ta’ala
berfirman,”Dan Kami turunkan kepadamu Al-qur’an, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dari tuhanya, sebab kamu
mengetahui kandungan Al-qur’an yang diturunkan kepadamu, kamu sangat
mencintainya, dan mematuhinya; karena Kami tahu bahwa kmu merupakan makhluk
yang paling utama dan junjungan keturunan Adam. Maka rincilah ayat yang global
dan teangkanlah ayat yang musykil “supaya mereka memikirkan,” yakni merenungkan
kebaikan dirinya lalu beroleh petunjuk sehingga mereka berhasil meraih
keselamatan di dunia dan akhirat.[2]
2.
Tafsir Al-Azhar
.” Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka”
(pangkal ayat 43). Hal ini diperingatkan kembali kepada beliau, Rasulullah,
bahwa itu, dan itu isi pengajarannya pun sama. Bahkan nasib
pertentanganpun kebanyakan bersamaan.
Sebab mereka itu semuanya manusia biasa, orang-orang laki-laki yang tidak lepas
dari pada suka dan duka. Maka disuruhlah Nabi saw menyampaikan kepada
orang-orang itu: “Maka bertanyalah kepada ahli-ahli yang telah mempunyai
peringatan, jika kamu belum mengetahui”. (ujung ayat 43)[3]
“(Mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab
(pangkal ayat 44). Penjelasan yaitu keterangan-keterangan dan alasan-alasan
untuk menguatkan pendirian bahwa Allah ta’ala itu ada dan tunggal, tidak
berserikat dengan yang lain. Semua kitab-kitab itu, baik taurat yang diturunkan
kepada Musa, injil kepada Isa, zabur
kepada Daud, dan shuhuf yaitu catatan-catatan yang diterima Nabi
Ibrahim. “Dan Kami turunkan kepada engkau peringatan” yaitu Al-qur’an “agar kamu (Muhammad) mene-rangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”.
Dengan ayat ini teranglah bahwa Nabi Muhammad saw menyampaikan peringatan
(al-qur’an) bukanlah kewajiban yang baru sekarang, melainkan sambungan mata
rantai sajadari rencana Tuhan dan memberi petunjuk umat manusia yang dimulai
sejak Adam sampai kepada berpuluh rasul sesudahnya. “Mudah-mudahan mereka
akan berfikir” (ujung ayat 44). Sebab maksud peringatan itu, memang yang
utama sekali mengajak orang berfikir tentang dirinya tentang hidupnya, tentang
Tuhannya dan hubungannya dengan tuhan itu.[4]
C.
Nabi
Muhammad saw mengajarkan syariat
Mengenai
risalah islam semua sepakat bahwa akidah adalah pondasi yang membangun
amal-amal ibadah lainnya. Umat Islam tidak pernah berselisih bahwa yang menjadi
seruan pertama kali dalam berdakwah adalah ajakan tauhid, yaitu mengajak umat
untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata. Dakwah tauhid ini juga
merupakan inti dari dakwah yang diserukan oleh para nabi dan rasul. Allah
ta’ala berfirman, “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul
yang mengajak; sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)
Karena itu,
dalam menyampaikan risalah islam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu
berpesan kepada para sahabatnya untuk menyerukan umat kepada tauhid terlebih
dahulu. Setelah nilai-nilai tauhid tersebut diterima, baru kemudian diajak
untuk mengamalkan ajaran Islam secara pelan-pelan. Hal ini sebagaimana yang
disampaikan oleh Nabi kepada Muadz bin Jabbal sebelum mengutusnya ke Yaman.
Sesungguhnya
kamu akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka kepada
persaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Jika mereka
mentaatimu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan
kepada mereka shalat lima waktu setiap siang dan malam…” (HR. Bukhari-Muslim)
Selama dua
puluh tiga tahun Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah mengajak umatnya
untuk memurnikan tauhid kepada Allah. Kesantunan dan kelembutan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengundang simpati dari banyak kalangan.
Namun demikian permusuhan dari kafir Quraisy pun cukup keras. Beragam cara
disusun untuk menghadang dakwah yang mulai bersinar itu. Mulai dari bentuk
ancaman, intimidasi, siksaan, hingga diembargo bertahun-tahun lamanya.
Di sela-sela
dakwah tauhid yang terus mengalami tekanan tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam mulai mengatur sejumlah strategi agar entitas Islam tidak lenyap di
tengah-tengah umat manusia. Langkah beliau tidak kaku, namun selalu dinamis
sesuai dengan problematika yang sedang dihadapi.
Menanamkan
prinsip tauhid hanya sebagai langkah awal sebagai dasar untuk menegakkan
syariat secara kaffah. Ketika prinsip tersebut berhasil ditanamkan dalam diri
para sahabat, maka beliau memerintahkan mereka untuk menyampaikan Islam secara
bertahap.
Lalu ketika
kondisi kaum muslimin mengalami tekanan dari kafir Quraisy, Rasulullah perintahkan untuk bersabar, tidak melawan,
hingga berhijrah untuk mencari perlindungan di tempat yang lebih aman. Diawali
dengan perintah hijrah ke negeri Habasyah hingga akhirnya berhasil menegakkan
syariat di bawah negara Islam di Madinah.[5]
Komentar
Posting Komentar